Fungsi Topeng Ratu
Nama-nama Topeng Ratu Dari
Setelah Topeng ini distanakan dulu di Alas Jerem (sebelum ada Desa Ketewel), Ida Betara Indra pun memberikan nama pada topeng itu seperti bagaimana bidadari di Surga, di antaranya:
Lanjutkan membaca artikel di bawah
1. Topeng Bidadari Supraba;
2. Topeng Bidadari Sulasih;
3. Topeng Bidadari Nilotama;
4. Topeng Bidadari Tunjung Biru;
5. Topeng Bidadari Gudita;
6. Topeng Bidadari Gagar Mayang.
Sejarah tarian Topeng Ratu Dari
Dulu topeng Ida Ratu Dari ini belum ada tariannya, hingga datanglah raja dari Sukawati yang bernama I Dewa Agung Anom Karna. Beliau menjalankan semedi atau tapa di Pura Payogan Agung meminta petunjuk kepada Hyang Pasupati untuk diberikan anugerah bisa melihat tarian di surga.
Lalu setelah mendapatkan anugerah tersebut dibuatlah tarian untuk melestarikan topeng Ida Ratu Dari ini. Hingga sekarang topeng Ratu Dari ini tersimpan di Gedong Agung, Pura Payogan Agung, Desa Ketewel. Topeng ini sangan sakral dan hanya orang-orang tertentu yang boleh menyentuh topeng ini. Penari yang boleh mementaskan tarian ini pun hanyalah perempuan yang belum mengalami datang bulan.
Hingga saat ini tarian dari topeng Ida Ratu Dari ini masih ada dan dipertunjukkan saat piodalan (upacara keagamaan) di Pura maupun rainan sanggah atau merajan di rumah masyarakat Ketewel. Tarian yang pertama bernama Subandar. Setelah adanya tarian ini, Di Puri Sukawati, Puri Peliatan, dan puri lainnya pun mulai mengembang dan menata tarian tarian dari topeng Ida Ratu Dari sehingga terbentuklah tarian legong keraton.
Baca Juga: Tari Piring Sumatra Barat: Sejarah dan Makna Gerakan Tarian
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
%PDF-1.4 %âãÏÓ 223 0 obj <> endobj xref 223 43 0000000016 00000 n 0000001912 00000 n 0000002077 00000 n 0000002594 00000 n 0000002803 00000 n 0000003280 00000 n 0000003779 00000 n 0000003893 00000 n 0000004005 00000 n 0000004312 00000 n 0000004649 00000 n 0000004918 00000 n 0000005510 00000 n 0000005785 00000 n 0000006329 00000 n 0000007061 00000 n 0000007690 00000 n 0000008355 00000 n 0000009021 00000 n 0000009487 00000 n 0000009943 00000 n 0000010105 00000 n 0000010388 00000 n 0000010875 00000 n 0000011153 00000 n 0000011665 00000 n 0000012376 00000 n 0000013139 00000 n 0000013822 00000 n 0000014284 00000 n 0000014914 00000 n 0000016098 00000 n 0000058782 00000 n 0000091878 00000 n 0000096706 00000 n 0000097076 00000 n 0000122897 00000 n 0000123311 00000 n 0000123708 00000 n 0000152442 00000 n 0000153414 00000 n 0000001734 00000 n 0000001179 00000 n trailer <<02147E7B0CE26C498BA3F8405E2868DE>]/Prev 801873/XRefStm 1734>> startxref 0 %%EOF 265 0 obj <>stream hÞb```b``ýÄÀÆÀÀÏÊ Ì€ Â@1vŽ)l!'pº0&lzúòvP²ÐüÃÊ\ Ñ™�IÁÃÐé †EÉÇ/\Á-\‚LŽ“5\6xO30)x%|ü‚’ÛÊhÑ×N¬|� ×b| áÚ’òðr„�ˆŠ]£W‰zØœœ½�¯ç„ªûyºÔç«�‚…‘*C›šÃÆ° R)¯x,Úf;YÝ=y¤þ抷/¿hL\À!bP ÄҬб0aŠŒUÈö°›X\\\*:€ Äqq2 âJJJ`aˆ�çâ ‚‹�±±±Y:ª ³1H]ZØ �"·æL Ä®`IÆ7;�0Þbˆdg”b´`øÂdÎð‹‰�é0SSS#ãNÆõ�ŒLŒçþ2>gZÇôˆiãV¦X–öe‹õ…3F¦ale,)PeÞœÆÁØÀx›qƒƒ£(CÃÆž¤ÉŒe@†FM 8?c#¯3#«Åog† †z Y¤‘€#�A"8 %ìxä¿Bø9@š“�mQ…fMØâ°_x¬ç iF Þ ` ‚Ý’ endstream endobj 264 0 obj <>/Filter/FlateDecode/Index[70 153]/Length 27/Size 223/Type/XRef/W[1 1 1]>>stream hÞbb²g`b``Ń3În~0 A³© endstream endobj 224 0 obj <>/Metadata 68 0 R/PageLabels 65 0 R/Pages 67 0 R/StructTreeRoot 70 0 R/Type/Catalog/ViewerPreferences<>>> endobj 225 0 obj <>/ExtGState<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC]/XObject<>>>/Rotate 0/StructParents 2/TrimBox[0.0 0.0 595.276 841.89]/Type/Page>> endobj 226 0 obj <> endobj 227 0 obj <> endobj 228 0 obj <> endobj 229 0 obj <> endobj 230 0 obj <> endobj 231 0 obj <> endobj 232 0 obj <>stream H‰\�ÍjÃ0Çï~ ÛCqšõ#…ƒöÁ²=€c+™a±�ãòö“íÒÁ¶~BúÛ’øµ}j�Àß½•´Qg»x‰Ð㨠ۗ ´·(ÝrŽqwëpjÍ`Y]ÿ äü ›Ge{Ü2þæzmFØ|]»-ðnqî'4 hP8ÐC/½Š �'Ù®U”×aÝ‘æ¯âsueŠ÷¹iÎNHôÂŒÈꂬ�ú™¬ahÔ¿|•Uý ¿…gõCIµEAŽø�ùù˜ùù”ùùœù¹Ê\E¾d¾4±ƒ²H¹ØÁí¯ØîƒÊÅ{š1í5 ÇÒï«wÖ©âa¿ ù–Å endstream endobj 233 0 obj <> endobj 234 0 obj <>stream H‰\”ÍjÛ@…÷zŠY&‹ Ûsï�„Á±ð¢?ÔíÈÒØÔ’Ë¿}çè„*°õ‰ÑÌù8pUn÷»}ßM®üž†æ'wêú6ÅëpKMtÇxîúb¹rm×LOós©Ç¢Ì›÷ë/ûþ4UåÊyñ:¥»{Ø´Ã1>å·ÔÆÔõg÷ðk{xtåá6Žâ%ö“[¸õÚµñ”úR�_ëKtå¼íißæõnº?å=ÿÞøy£[ÍÏKÊ4C¯cÝÄT÷çXT‹|]õž¯uûö¿uÜv<5¿ëTT+¼¼Xä[ægò3ø…üÞ’·ày~#¿�ßÉ9´ò<ÓãL¿$/Á+ò ìÉ,d+YÁF6p 0==<===<ý†¼¿’_Átópú|„>¡�ÀGè#ðæ r…¹‚\a® W˜+Èæ r…½ zö&èMØ› 7¡›ÀMÙ›¢7¥›ÂMé¦pSº)Ü”])ºRv¥èJé¬pVz*<•n 7¥�ÂÇ؉¡c®!טkÈ5ær�¹†\c®!טkÈ5veèÊè`p0veèÊècð1veèÊèf³»2teìÊÐU`W]:8:8:8:8:8:8zxzæ†ècZ0NyêÝç¬6·”ò˜ÎŸ†y>1™]?¿ã0º¼¿â¯ jð Ý endstream endobj 235 0 obj <> endobj 236 0 obj <>stream H‰\“ÍjÛ@…÷zŠY&‹ [¾s'apì¼èuû ²4võHŒå…ß¾÷è„*°õ i>�{ДÛýnŸúÉ•ßóÐâäN}êr¼·ÜFwŒç>ËÊu};}\Íÿí¥‹Òî×)^öé4uíÊvó:å»{ØtÃ1>å·ÜÅܧ³{øµ=<ºòpÇ?ñÓän½v]<™èK3~m.Ñ•ó²§}g÷ûéþdkþ=ñó>FWÍ×K†i‡.^Ǧ�¹IçXÔ;Ö®~·c]ÄÔýwß—Oíï&u…‡;¿�_À[ò¼#ïÀoä7ãÕrf;Wä ¼"¯ÀB°'{°’Ì÷®ð^¡Sà:N¡Sà:N¡Sà:Ny&?ƒé—Ù¿!oÀ¯äW0çÌ+œW0¯p^Á¼òN¶bkÏÞ
Dalam era sekarang ini. semua orang sebaiknya menyadari pentingnya menjaga lingkungan. Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran ekologis siswa.
Salah satu cara efektif untuk mengajarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam (IPA) adalah melalui pembelajaran berbasis proyek yang mengintegrasikan konsep-konsep lingkungan.
Sebagai contoh, memanfaatkan limbah kertas untuk membuat barang seni seperti topeng, payung atau benda lainnya. Kegiatan ini tidak hanya mengajarkan tentang daur ulang dan pengurangan limbah, tetapi juga mengembangkan kreativitas dan keterampilan siswa.
Karya-karya Topeng wajah ini merupakan bagian dari upaya sekolah dalam menerapkan konsep kehidupan berkelanjutan. Memanfaatkan sumber daya secara bijaksana dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Dalam konteks ini, bahan-bahan yang digunakan berasal dari limbah yang seharusnya menjadi beban bagi lingkungan. Namun dengan daya kreasi, limbah-limbah tersebut berubah menjadi karya seni yang memiliki nilai ekonomi dan ekologis.
Melalui proses pembuatan topeng, siswa tidak hanya belajar tentang teknik membentuk pada seni rupa. Tetapi juga menyadari betapa pentingnya menjaga lingkungan dengan cara mendaur ulang dan memanfaatkan limbah secara produktif.
Karya-karya ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan tentang keberlanjutan lingkungan kepada masyarakat luas.
Topeng wajah yang dibuat dari bahan kertas limbah, lem, dan bungkus makanan ini tidak hanya memancarkan keindahan seni. Tetapi juga menjadi bukti kreativitas siswa dalam memanfaatkan limbah untuk keberlanjutan hidup.
Setiap Topeng menggambarkan keunikan ekspresi wajah manusia. mulai dari ekspresi Sedih, marah, bahagia hingga serius. Menghadirkan karakter yang berbeda-beda. Lembaran kertas bekas yang disusun dengan teliti membentuk relief. Memberikan dimensi pada topeng sehingga terlihat hidup.
Sementara itu, lem, dan bungkus makanan yang menjadi elemen pengikat tidak hanya menambahkan tekstur pada karya. Tetapi juga menjadi simbol penting akan pentingnya mendaur ulang sampah untuk menjaga dan melindungi lingkungan.
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Austronesian honorific title for male Fijians of chiefly rank
Ratu ([ˈrɑːtu]) is an Austronesian title used by male Fijians of chiefly rank. An equivalent title, adi (pronounced [ˈandi]), is used by females of chiefly rank. In the Malay language, the title ratu is also the traditional honorific title to refer to the ruling king or queen in Javanese culture (though it has since been used in modern contexts to refer to both queen regnant and queen consort of any nation, e.g. "Ratu Elizabeth II" and "Ratu Camilla"). Thus in Java, a royal palace is called "keraton", constructed from the circumfix ke- -an and Ratu, to describe the residence of the ratu.
Ratu: A chiefly title for men used alone as a form of address, or in front of the chief's name, only in certain places The source of the Fijian title is Verata, and it has spread throughout Fiji during the past century, now applied to many local, minor chiefs as well as the major ones. The concept of his type of title is from Tonga. Strictly speaking, the title belongs only in Verata. In their time, Cakobau or Tanoa, his father, never themselves used the title of Ratu. It does not appear with Cakobau's name or any other chief's name in the Deed of Cession of 1874. (Exceptionally, in the 1850s, Ratu Mara Kapaiwai was one of the few who did use the word Ratu, though that may have been a name rather than a title.) It has been affixed to the names of Tana and Cakobau by later Fijians, retroactively. The Cakobau Memorial Church on Bau Island is now referred to as the Ratu Cakobau Church. Ratu may also be used as a personal first name or second name. The title may be acquired as part of a chiefly name, by a namesake. In such cases, it does not imply chiefly status. Adi is the female equivalent, sometimes heard as Yadi in Lau.
Ra is a prefix in many titles (ramasi, ramalo, rasau, ravunisa, ratu), and tu means simply "chief". The formal use of "ratu" as a title in a name (as in "Sir" in British tradition) was not introduced until after the cession of 1874. Until then, a chief would be known only by his birth name and his area-specific traditional title.
Regional variations include ro in Rewa and parts of Naitasiri and Tailevu, roko in parts of Naitasiri, Rewa and Lau (particularly the Moala group), ra in parts of Vanua Levu, particularly the province of Bua.
In all those places, it is used as a title preceding the person's name, much like "prince", "duke", "earl", "baron" or "lord".
The semantics, however, are a little different in Fijian although the name and title are usually reversed, for example:
In English, one would say His Royal Highness (Styling) Prince (address/title) Andrew (name), Duke of York (noble title).
In Fijian, one would say, Gone Turaga Na (Styling) Roko Tui Bau (noble title), Ratu (address/title) Joni Madraiwiwi (name).
The Fijian nobility consists of about seventy chiefs, each of whom descends from a family that has traditionally ruled a certain area. The chiefs are of differing rank, with some chiefs traditionally subordinate to other chiefs. The Vusaratu clan is regarded as the highest chiefly clan, with regards to the people of Bau until the rise of the Tui Kaba clan leader, who exiled all Vusaratu members. They are the heirs of Ratu Seru Epenisa Cakobau, the Vunivalu of Bau or Tui Levuka (Paramount Chief of Bau, on the eastern side of Viti Levu, Fiji's most populous island), He proclaimed himself "Tui Viti/King of Fiji" in 1871. (He was only recognised by the British and a few provinces of Viti Levu) He along with 12 high Chiefs subsequently ceded the islands to the United Kingdom in 1874.
Other prominent chiefly clans include the Vuanirewa (the traditional rulers of the Lau Islands) and the Ai So'ula (the traditional rulers of Vanua Levu).
During the colonial rule (1874–1970), the British kept Fiji's traditional chiefly structure and worked through it. They established what was to become the Great Council of Chiefs, originally an advisory body, but it grew into a powerful constitutional institution. Constitutionally, it functions as an electoral college to choose Fiji's president (a largely honorary position modelled on the British monarchy), the vice-president, and 14 of the 32 senators, members of Parliament's "upper house", which has a veto over most legislation. The 18 other senators are appointed by the Prime Minister (9), the Leader of the Opposition (8), and the Council of Rotuma (1); these appointees may, or may not, be of chiefly rank also. (The Senate was modelled on Britain's House of Lords, which consists of both hereditary and life peers.)
The presidency, vice-presidency, and fourteen senators are the only constitutional offices whose appointment is controlled by persons of chiefly rank. Chiefs in post-independence Fiji have always competed for parliamentary seats on an equal footing with commoners. In the years following independence, this favored the chiefly class, as the common people looked to them as their leaders and generally voted for them. For several elections, many ethnic Fijian members of the House, which is elected by universal suffrage, were of chiefly rank, but in recent elections, the discrepancy between chiefs and commoners is slowly narrowing, as commoners are becoming better educated and have begun to work their way into the power structure. The chiefs, however, retain enormous respect among the Fijian people. In times of crisis, such as the coups of 1987 and the third coup of 2000, the Great Council of Chiefs often stepped in to provide leadership when the modern political institutions have broken down.
Belanja di App banyak untungnya:
harga kualitas fungsi
paketan sudah sampai pokoknya mantap
produk sangat baik dan harga sangat ekonomis. Fast respon dan sangat ramah. pengiriman cepat. recomended seller.
Bali merupakan pulau yang terkenal dengan kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Masyarakat dari Bali hingga saat ini masih sangat menjaga kebudayaan dan adat istiadat mereka.
Desa Ketewel adalah salah satu wilayah yang masih mempertahankan kekentalan adat dan budaya di daerahnya. Salah satu kebudayaan dan adat istiadat yang menjadi ciri khas Desa Ketewel adalah Topeng legong sakral, Ida Ratu Dari. Untuk tahu lebih lanjut tentang topeng sakral Ratu Dari yang menjadi ciri khas dari Desa Ketewel, simak penjelasannya di bawah.
Sejarah singkat Topeng Ratu Dari
Berdasarkan penuturan Jro Mangku Gede dari Desa Ketewel menurut sastra di Ketewel, Topeng Sang Hyang Legong ini dibuat oleh Ki Lampor yang berasal dari Lembah Semeru Agung, Jawa Timur dikutip dari channel YouTube Tjok Gde Raka Sukawati.
Ki Lampor diminta untuk membuat topeng Ida Ratu Dari yang berjumlah 9 topeng. Pada pembuatan topeng ini, Ki Lampor mendapatkan titah dari Sang Hyang Pasupati agar topeng ini dibuat dari kayu Jor Jenar.
Topeng Ida Ratu Dari ini memiliki ciri khas sebagai wujud Betara Indra. Lalu topeng itu pun distanakan dulu di Alas Jerem (sebelum ada Desa Ketewel). Setelah itu Ida Betara Indra pun memberikan nama pada topeng itu seperti bagaimana bidadari di Surga.
Baca Juga: Sejarah Tari Bali Topeng Legong dari Desa Ketewel, Sakral